Kamis, 15 Desember 2011 0 komentar

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA


PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA


A.           Pengertian Etika

Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk. Etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. (Kattsoff, 1985). Etika membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai seperti nilai baik dan buruk, nilai kesopanan, keberanian, kerendahan hati, dan lain-lain.
Nilai pada hakikatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, namun bukan objek itu sendiri. Nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Moral merupakan patokan-patokan, kumpulan peraturan lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik. 
Norma adalah aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang mengikat warga masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan dan pengendali sikap dan tingkah laku dalam hidup bermasyarakat.

B.            Etika Politik
Etika politik berbeda dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi, misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan :
        • Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hukum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
        • Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang akan dicapai baik oleh badan legislative maupun eksekutif.
Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti :
1.      Pemisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
2.      Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
3.      Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
4.      Kedaulatan rakyat (Rousseau)
5.      Negara hukum demokratis/republican (Kant)
6.      Hak-hak asasi manusia (Locke)
7.      Keadilan sosial

C.            Lima Prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer
Kalau lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern.
1.      Pluralisme
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didiskriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
2.      HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan, jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:
        • Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari Sang Pencipta.
        • Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas dimana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam oleh Negara modern.
Dibedakan tiga generasi hak-hak asasi manusia:
  1. Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hukum.
  2. Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
  3. Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras. Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).
3.      Solidaritas Bangsa
Solidaritas menunjukkan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing.
4.      Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:
        • Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
        • Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5.      Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan sosial mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang mungkin hanya dapat survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktur adalah diskriminasi di semua bidang, terhadap perempuan, diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis Suseno, 2007. Artikel Materi Kuliah Umum Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta Senin 27 Agustus 2007.
Tim Dosen Pancasila Unhas, 2003. Pendidikan Pancasila Perguruan Tinggi. Dicetak oleh Offset Setting Perkasa 70 Qs. Makassar.

No Response to "PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA"

Posting Komentar

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.